OM Swastiastu, OM Awighnam Astu...
Mohon bantuan kepada rekan umat SeDharma untuk menyebarkan informasi berikut ini..
Berikut kami memberikan penjelasan tentang Banten agar saudara kita yang beragama Kristen Katolik khususnya di Bali yang juga menggunakan banten bisa paham kenapa Banten itu adalah milik agama Hindu khususnya Hindu Bali dan tidak boleh dipergunakan di agama lain. Jadi kalau anda yang beragama kristen katolik yang masih memakai banten dalam aktifitas keagaaman, kami sarankan anda pindah kembali menjadi agama Hindu.
Mohon bantuan kepada rekan umat SeDharma untuk menyebarkan informasi berikut ini..
Berikut kami memberikan penjelasan tentang Banten agar saudara kita yang beragama Kristen Katolik khususnya di Bali yang juga menggunakan banten bisa paham kenapa Banten itu adalah milik agama Hindu khususnya Hindu Bali dan tidak boleh dipergunakan di agama lain. Jadi kalau anda yang beragama kristen katolik yang masih memakai banten dalam aktifitas keagaaman, kami sarankan anda pindah kembali menjadi agama Hindu.
Banten bukanlah budaya, melainkan tata cara beragama Hindu Bali. BANYAK
ORANG SALAH KAPRAH MENGENAI BANTEN DAN MENGATAKAN BAHWA BANTEN ADALAH
BUDAYA, ITU SUATU KEKELIRUAN YANG BESAR DAN ISTILAH BUDAYA BANTEN ITU
DISEBARKAN OLEH PARA MISIONARIS DARI KEPERCAYAAN LAIN/AGAMA LAIN YANG
MEMPUNYAI MAKSUD DAN TUJUAN TERTENTU, MAKA DARI ITU DI GAUNGKANLAH BAHWA
BANTEN ADALAH BUDAYA BUKAN BAGIAN DARI AGAMA HINDU BALI.
Dasar kami berjalan adalah dengan acuan sebagai berikut :
Dalam “Lontar Tapeni” disebutkan bahwa upakara merupakan simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai magis dan memiliki bagian-bagian seperti adanya Tri Angga antara lain:
a) Semua bentuk daksina adalah merupakan simbul kepala (hulu) yang merupakan kekuatan dan sumber pengatur.
b) Semua bentuk ayaban seperti pengambeyan, dapetan adalah merupakan simbul badan, dan jerimpen adalah simbul tangan, semua bentuk tebasan dan sesayut adalah semua bentuk perut.
c) Semua bentuk lelaban seperti, caru segehan adalah simbul pantat dan kaki.
Uraian tersebut ditegaskan dalam Tutur Tapeni sebagai berikut:
"Apan Widhi widana juga ngaran banten, bang ngaran sang Hyang Prajapati (Widhi), anten ngaran inget, ngaran eling, ling ngaran tunggal, ngaran kimanusa anunggal lawan widhi".
"Iki paribasa Widhining yajna, luir ipun, yajnaadruwe prabhu (hulu), tangan, dada muah suku manut manista, madya motama. Daksina pinaka hulunia, jerimpen karopinaka asta karo sehananing banten ring areping Widhini pinaka angga, sahananing palelabahan pinaka suku".
Sebab Widhi Widana juga bererti banten, bang disebut dengan Sang Hyang Prajapati, anten artinya ingat, eling ling, artinya satu, disebut sebagai manusia yang senantiasa menyatu dengan Sang Hyang Widhi.
Yadnya ini sebagai penggambaran Tuhan, seperti yajna memiliki kepala, tangan, dada dan kaki sesuai konsep nista, madya, utama. Daksina sebagai kepalanya, kedua jerimpen sebagai bahu, seluruh banten yang ada di atas merupakan penggambaran seluruh badan Sang Hyang Widhi, dan semuapelelaban merupakan kaki beliau.
Selanjutnya dalam Lontar Tutur Yajna Prakerti ada juga uraian tentang simbolisasi dan makna bantentersebut antara lain bunyinya:
"Ika nimitan ing Widhi-Widana araniya, ikang sarwa babanten, apaniya dadi lingga, dadi saksi, dadi caya, dadi cihnan ing wang astiti bhakti ring Widhi. Panggalaniya ya ring raga sarira juga stana ini Widhin anuksma, ring bhumi nggwan ing astute, nggwan ing stungkara, nggwan ing Umastawa sira.
Karan ing Widhi-Widhana nga, Bhatara; Wi nga, suksma; dhana nga, sakala nyalankara. Kalinganiya ikang babanten juga pinaka reka rupa warnan ira Bhatara, rinekeni rupa kadi tingkah ing kawongan, pada sowong-sowang"
Itu disebutkan sebagai Widhi-Widhana, semua dari bebanten, merupakan symbol lingga, menjadi saksi, menjadi cahaya/sinar menjadi cirri-ciri orang yang bhakti kepada Widhi.
Itu sebabnya Widhi-widhana/ banten disebut Bhatara. Wi artinya suksma/disucikan; Dhana artinya nyata-nyata ada.
Makna banten juga sebagai perwujudan bharata, yang diteladani oleh manusia didalam bertingkah laku.
Memperhatikan penjelasan isi lontar tersebut banten yang dipergunakan sebagai sarana persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi penuh dengan makna simbol-simbol. Segala perasaan dan keinginan yang ingin disampaikan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi disampaikan dalam bentuk simbolisasi.Banten secara keseluruhan merupakan penggambaran Ida Sang Hyang Widi secara utuh. Banten juga merupakan lingga (tempat berstananya Ida Sang Hyang Widi), banten adalah perwujudan ketulusan hati, banten juga merupakan perlambang cahaya yang menerangi hati nurani manusia.
Selain itu kami juga mengacu kepada Keputusan pesamuhan agung PHDI pada tahun 2003 butir ke VI yang mengatakan bahwa :
VI. BANTEN
Upacara (yajna) adalah pilar yang keenam dari dharma seperti dikatakan didalam Atharva Veda XII, 1, 1. banten juga adalah persembahan yajna. Didalam Gita X, 25 Sri Krisna bersabda bahwa dari semua persembahan, Aku adalah sembah meditasi yang hening (yajnanam japayajno’smi). Akan tetapi selera dan kecenderungan setiap orang tidak sama. Di dalam agama Hindu, semuanya diakomodasikan dengan baik, seperti dengan jelas dikatakan oleh Abinash Chandra Bose didalam The Call of the Veda :
"Yajna adalah upacara Veda dengan memberikan persembahyangan didalam api yajna yang dinyalakan diatas altar. Upacara yang lain adalah persembahan air Soma. Apapun nama dewata yang disembah, upacaranya sama saja.
Upacara Veda sangat indah, disertai dengan nyanyian (irama Sama Veda sangatlah musikal) dan juga peran (acting). Ada upacara sederhana untuk yajna rumah tangga (agnihotra), ada juga yajna besar di dalam hubungannya dengan musim, di tempat terbuka dan dihindari banyak orang.
Warna politik diberikan kepada upacara misalnya didalam institusi asvameda (upacara kurban kuda yang biasanya didahului oleh tantangan kepada negara tetangga didalam turnamen adu senjata) dan rajasuya (yang biasanya dimanfaatkan oleh raja diraja untuk memperoleh penghormatan dari jajahannya). Karena institusi umum yang besar, yajna mengembangkan upacara yang menambah menariknya sisi seremonial dari sembah ini. Bahagian yang formal dari sembah ini akhirnya dikenal dengan nama karmakanda, yaitu "bahagian tindakan" dari agama.
Gagasan mengenai yajna akhirnya diperluas dengan diterimanya sistim mahayajna sebagai tambahan dari agnihotra yang biasa diselenggarakan seperti pengajaran Veda (brahmayajna), pelayanan kepada tamu (nriyajna), menghaturkan santapan kepada makhluk yang lebih rendah (bhutayajna) dan pelayanan atau persembahan kepada leluhur (pitriyajna) diakui sebagai mahayajna.
Bhagavad Gita dengan caranya yang luar biasa membedakan semangat yajna dari bentuk-bentuknya. Apabila semangatnya diterima maka bahagian material dari yajna yang berhubungan dengan api, minyak, persembahan, bisa diartikan secara harfiah tetapi juga secara simbolis dan figurative. Bahkan didalam Veda kita melihat yajna dijalankan didalam arti figurative-nya. Perohanian gagasan yajna adalah menjaga keserasian gagasan pemikiran Hindu. Institusi yajna sebagai upacara (ritual) memiliki kekhususannya sendiri. Disatu pihak dia menekankan unsur yang nyata dari agama Veda. Kesan megah dari kobaran api, aroma yang manis dari gehi yang terbakar, sesajen dan persembahan makanan, soma yang dilumatkan dan semua bahagian dari yajna memiliki akibat langsung dan menyucikan terhadap para penyembahnya. Dan tindakan para pinandita-nya, nyanyian dan musiknya serta tindakan bersama yang membawa permohonan yang segera, tentunya memiliki nilai yang tidak kecil."
Hal-hal yang disampaikan diatas memang cocok untuk memberikan gambaran suasana di Bali dan pemecahannya, yaitu kita juga dibenarkan untuk menjalankan yajna yang simbolis dan figurative. Dilihat dari segi upacara, Hindu memang demikian, baik di India atau dimana saja. Hanya di Bali pengembangannya menjadi terlalu jauh, dimana satu tattva dikembangkan menjadi berbagai hal dan setiap sub-bahagian dijabarkan lagi menjadi hal yang lebih rinci. Canang sari, daksina, gayah dan lain-lain tentulah hasil penjabaran seperti itu.
Pengembangan yang terlalu jauh ini membawa konsekwensi menjadi demikian banyak dan beragamnya sesajen, yang pada akhirnya menjadikannya sudah tidak segar lagi. Padahal, di dalam setiap upacara bahkan juga upacara Ruwat yang masih berjalan di Jawa pada saat ini, prasadam, surudan atau sesajen yang telah dihaturkan menjadi rebutan umat pada saat upacara telah selesai. Semuanya bisa dimanfaatkan dan dianggap sebagai sesuatu yang memiliki tuah dan dibawa pulang. Hal ini berlainan dengan upacara di Bali dimana, karena terlalu banyak dan dengan bahan-bahan (buah, kembang, dedaunan, dll) yang dibagi/dipotong-potong, menjadikannya semakin cepat rusak dan tidak layak untuk di"surud", apalagi untuk persembahan.
Pesamuhan Agung merekomendasikan, seharusnyalah setiap persembahan, dibuat dari bahan yang segar, sederhana dan seminimal mungkin sesuai dengan sastra, sehingga sehabis upacara layak menjadi surudan/prasadam. Keharusan membuat persembahan/banten dengan bahan yang segar akan dengan sendirinya membawa kepada penyederhanaannya. Pembuatan isi banten/persembahan dengan bahan-bahan yang segar dengan sendirinya akan membawa kepada penilaian ulang tentang cara-cara pembuatannya. Semua ini tetap akan membawa kita kepada jiwa dari setiap pembaharuan agama, bahwasannya, hanyalah hal-hal yang cohenret dengan apa yang diajarkan di dalam Veda sajalah yang patut dipertahankan.
Dasar kami berjalan adalah dengan acuan sebagai berikut :
Dalam “Lontar Tapeni” disebutkan bahwa upakara merupakan simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai magis dan memiliki bagian-bagian seperti adanya Tri Angga antara lain:
a) Semua bentuk daksina adalah merupakan simbul kepala (hulu) yang merupakan kekuatan dan sumber pengatur.
b) Semua bentuk ayaban seperti pengambeyan, dapetan adalah merupakan simbul badan, dan jerimpen adalah simbul tangan, semua bentuk tebasan dan sesayut adalah semua bentuk perut.
c) Semua bentuk lelaban seperti, caru segehan adalah simbul pantat dan kaki.
Uraian tersebut ditegaskan dalam Tutur Tapeni sebagai berikut:
"Apan Widhi widana juga ngaran banten, bang ngaran sang Hyang Prajapati (Widhi), anten ngaran inget, ngaran eling, ling ngaran tunggal, ngaran kimanusa anunggal lawan widhi".
"Iki paribasa Widhining yajna, luir ipun, yajnaadruwe prabhu (hulu), tangan, dada muah suku manut manista, madya motama. Daksina pinaka hulunia, jerimpen karopinaka asta karo sehananing banten ring areping Widhini pinaka angga, sahananing palelabahan pinaka suku".
Sebab Widhi Widana juga bererti banten, bang disebut dengan Sang Hyang Prajapati, anten artinya ingat, eling ling, artinya satu, disebut sebagai manusia yang senantiasa menyatu dengan Sang Hyang Widhi.
Yadnya ini sebagai penggambaran Tuhan, seperti yajna memiliki kepala, tangan, dada dan kaki sesuai konsep nista, madya, utama. Daksina sebagai kepalanya, kedua jerimpen sebagai bahu, seluruh banten yang ada di atas merupakan penggambaran seluruh badan Sang Hyang Widhi, dan semuapelelaban merupakan kaki beliau.
Selanjutnya dalam Lontar Tutur Yajna Prakerti ada juga uraian tentang simbolisasi dan makna bantentersebut antara lain bunyinya:
"Ika nimitan ing Widhi-Widana araniya, ikang sarwa babanten, apaniya dadi lingga, dadi saksi, dadi caya, dadi cihnan ing wang astiti bhakti ring Widhi. Panggalaniya ya ring raga sarira juga stana ini Widhin anuksma, ring bhumi nggwan ing astute, nggwan ing stungkara, nggwan ing Umastawa sira.
Karan ing Widhi-Widhana nga, Bhatara; Wi nga, suksma; dhana nga, sakala nyalankara. Kalinganiya ikang babanten juga pinaka reka rupa warnan ira Bhatara, rinekeni rupa kadi tingkah ing kawongan, pada sowong-sowang"
Itu disebutkan sebagai Widhi-Widhana, semua dari bebanten, merupakan symbol lingga, menjadi saksi, menjadi cahaya/sinar menjadi cirri-ciri orang yang bhakti kepada Widhi.
Itu sebabnya Widhi-widhana/ banten disebut Bhatara. Wi artinya suksma/disucikan; Dhana artinya nyata-nyata ada.
Makna banten juga sebagai perwujudan bharata, yang diteladani oleh manusia didalam bertingkah laku.
Memperhatikan penjelasan isi lontar tersebut banten yang dipergunakan sebagai sarana persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi penuh dengan makna simbol-simbol. Segala perasaan dan keinginan yang ingin disampaikan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi disampaikan dalam bentuk simbolisasi.Banten secara keseluruhan merupakan penggambaran Ida Sang Hyang Widi secara utuh. Banten juga merupakan lingga (tempat berstananya Ida Sang Hyang Widi), banten adalah perwujudan ketulusan hati, banten juga merupakan perlambang cahaya yang menerangi hati nurani manusia.
Selain itu kami juga mengacu kepada Keputusan pesamuhan agung PHDI pada tahun 2003 butir ke VI yang mengatakan bahwa :
VI. BANTEN
Upacara (yajna) adalah pilar yang keenam dari dharma seperti dikatakan didalam Atharva Veda XII, 1, 1. banten juga adalah persembahan yajna. Didalam Gita X, 25 Sri Krisna bersabda bahwa dari semua persembahan, Aku adalah sembah meditasi yang hening (yajnanam japayajno’smi). Akan tetapi selera dan kecenderungan setiap orang tidak sama. Di dalam agama Hindu, semuanya diakomodasikan dengan baik, seperti dengan jelas dikatakan oleh Abinash Chandra Bose didalam The Call of the Veda :
"Yajna adalah upacara Veda dengan memberikan persembahyangan didalam api yajna yang dinyalakan diatas altar. Upacara yang lain adalah persembahan air Soma. Apapun nama dewata yang disembah, upacaranya sama saja.
Upacara Veda sangat indah, disertai dengan nyanyian (irama Sama Veda sangatlah musikal) dan juga peran (acting). Ada upacara sederhana untuk yajna rumah tangga (agnihotra), ada juga yajna besar di dalam hubungannya dengan musim, di tempat terbuka dan dihindari banyak orang.
Warna politik diberikan kepada upacara misalnya didalam institusi asvameda (upacara kurban kuda yang biasanya didahului oleh tantangan kepada negara tetangga didalam turnamen adu senjata) dan rajasuya (yang biasanya dimanfaatkan oleh raja diraja untuk memperoleh penghormatan dari jajahannya). Karena institusi umum yang besar, yajna mengembangkan upacara yang menambah menariknya sisi seremonial dari sembah ini. Bahagian yang formal dari sembah ini akhirnya dikenal dengan nama karmakanda, yaitu "bahagian tindakan" dari agama.
Gagasan mengenai yajna akhirnya diperluas dengan diterimanya sistim mahayajna sebagai tambahan dari agnihotra yang biasa diselenggarakan seperti pengajaran Veda (brahmayajna), pelayanan kepada tamu (nriyajna), menghaturkan santapan kepada makhluk yang lebih rendah (bhutayajna) dan pelayanan atau persembahan kepada leluhur (pitriyajna) diakui sebagai mahayajna.
Bhagavad Gita dengan caranya yang luar biasa membedakan semangat yajna dari bentuk-bentuknya. Apabila semangatnya diterima maka bahagian material dari yajna yang berhubungan dengan api, minyak, persembahan, bisa diartikan secara harfiah tetapi juga secara simbolis dan figurative. Bahkan didalam Veda kita melihat yajna dijalankan didalam arti figurative-nya. Perohanian gagasan yajna adalah menjaga keserasian gagasan pemikiran Hindu. Institusi yajna sebagai upacara (ritual) memiliki kekhususannya sendiri. Disatu pihak dia menekankan unsur yang nyata dari agama Veda. Kesan megah dari kobaran api, aroma yang manis dari gehi yang terbakar, sesajen dan persembahan makanan, soma yang dilumatkan dan semua bahagian dari yajna memiliki akibat langsung dan menyucikan terhadap para penyembahnya. Dan tindakan para pinandita-nya, nyanyian dan musiknya serta tindakan bersama yang membawa permohonan yang segera, tentunya memiliki nilai yang tidak kecil."
Hal-hal yang disampaikan diatas memang cocok untuk memberikan gambaran suasana di Bali dan pemecahannya, yaitu kita juga dibenarkan untuk menjalankan yajna yang simbolis dan figurative. Dilihat dari segi upacara, Hindu memang demikian, baik di India atau dimana saja. Hanya di Bali pengembangannya menjadi terlalu jauh, dimana satu tattva dikembangkan menjadi berbagai hal dan setiap sub-bahagian dijabarkan lagi menjadi hal yang lebih rinci. Canang sari, daksina, gayah dan lain-lain tentulah hasil penjabaran seperti itu.
Pengembangan yang terlalu jauh ini membawa konsekwensi menjadi demikian banyak dan beragamnya sesajen, yang pada akhirnya menjadikannya sudah tidak segar lagi. Padahal, di dalam setiap upacara bahkan juga upacara Ruwat yang masih berjalan di Jawa pada saat ini, prasadam, surudan atau sesajen yang telah dihaturkan menjadi rebutan umat pada saat upacara telah selesai. Semuanya bisa dimanfaatkan dan dianggap sebagai sesuatu yang memiliki tuah dan dibawa pulang. Hal ini berlainan dengan upacara di Bali dimana, karena terlalu banyak dan dengan bahan-bahan (buah, kembang, dedaunan, dll) yang dibagi/dipotong-potong, menjadikannya semakin cepat rusak dan tidak layak untuk di"surud", apalagi untuk persembahan.
Pesamuhan Agung merekomendasikan, seharusnyalah setiap persembahan, dibuat dari bahan yang segar, sederhana dan seminimal mungkin sesuai dengan sastra, sehingga sehabis upacara layak menjadi surudan/prasadam. Keharusan membuat persembahan/banten dengan bahan yang segar akan dengan sendirinya membawa kepada penyederhanaannya. Pembuatan isi banten/persembahan dengan bahan-bahan yang segar dengan sendirinya akan membawa kepada penilaian ulang tentang cara-cara pembuatannya. Semua ini tetap akan membawa kita kepada jiwa dari setiap pembaharuan agama, bahwasannya, hanyalah hal-hal yang cohenret dengan apa yang diajarkan di dalam Veda sajalah yang patut dipertahankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar